Sapiens in Minutes #3. Arah Sejarah

Apakah sejarah punya arah?

Para pemikir abad ke-20 cenderung mengajarkan bahwa setiap budaya manusia bersifat lengkap dan harmonis, memiliki esensi tak berubah yang mendefinisikannya untuk selamanya. Setiap kelompok manusia memiliki pemandangan atas dunia dan sistem pengaturan sosial, hukum, dan politik masing-masing, yang berjalan tetap semulus planet-planet mengelilingi matahari. Dalam pandangan ini, kultur-kultur yang sudah mapan tidak berubah. Kultur-kultur itu hanya bergerak dengan kecepatan yang sama ke arah yang sama, dan hanya kekuatan yang diaplikasikan dari luar yang bisa mengubahnya.

Memang benar bahwa budaya bisa bertransformasi dengan merespon perubahan-perubahan eksternal, atau melalui interaksi dengan budaya lain, tapi bagi Harari, budaya juga menjalani transisi-transisi berkat dinamika internalnya sendiri. Tak seperti hukum fisika yang bebas dari inkonsistensi, setiap tatanan ciptaan manusia tersusun dari kontradiksi-kontradiksi internal, dan budaya-budaya senantiasa berusaha merekonsiliasinya. Kontradiksi-kontradiksi inilah yang menggerakkan perubahan. Kontradiksi adalah bahan bakar budaya, yang bertanggung jawab atas kreativitas dan dinamika spesies kita.

Hari-hari ini, kita masih banyak bicara tentang budaya “otentik”, tetapi jika yang dimaksud “otentik” itu adalah sesuatu yang berkembang secara independen, dan berisi tradisi-tradisi lokal kuno yang bebas dari pengaruh eksternal, maka tidak ada budaya otentik yang tersisa di bumi. Selama beberapa abad lalu, semua budaya diubah hampir tanpa disadari oleh sebuah banjir pengaruh global. Silakan periksa pakaian Anda, cek apa yang Anda makan, film apa yang ingin Anda tonton, dan telusuri asal-usul isi pikiran Anda.

Orang-orang juga masih sering berbicara tentang “Benturan Peradaban”, tapi bagi Harari, Benturan Peradaban yang riil itu seperti dialog termasyur orang tuli. Ketika Negara Muslim dan Barat saling menghunus pedang, keduanya berbicara dengan bahasa negara bangsa, membahas ekonomi kapitalis, hak-hak internasional, dan fisika nuklir. Mereka bertengkar dan berkelahi, tetapi mereka bertengkar menggunakan konsep-konsep yang sama dan berkelahi menggunakan senjata-senjata yang sama. Tak satu pihak pun yang bisa menangkap apa yang dikatakan pihak lain.

Jadi, yang pertama, ketimbang melihat setiap budaya sebagai batu-batu yang jika saling berbentur tetap menghasilkan batu-batu yang terpisah, Harari menyarankan agar melihatnya sebagai not-not musik. Kultur-kultur manusia senantiasa mengalir. Sebagaimana ketika dua not musik yang berbenturan dimainkan bersama menghasilkan sepotong musik, demikian pula pertentangan pemikiran, ide-ide, dan nilai-nilai memaksa kita untuk berpikir, mengevaluasi ulang, dan mengkritisi. Konsistensi adalah arena bermain bagi pikiran-pikiran yang bodoh.

Yang kedua, untuk melihat pola-pola dari aliran kultur manusia secara jelas, tidak cukup hanya dengan menggunakan sudut pandang “mata burung” yang sekadar melihat sejarah yang terkenal, atau menelusuri perkembangan-perkembangan dalam rentang beberapa dekade atau beberapa abad saja. Cara pandang seperti ini terlalu miopik (atau terlalu dekat dengan obyek pandangan). Akan lebih baik jika kita mengadopsi cara pandang “satelit mata-mata kosmis”, yang menyapu milenium-milenium ketimbang abad-abad.

Dalam waktu kurang dari 50.000 tahun, peradaban manusia telah sepenuhnya mengubah cara kita hidup. Setiap revolusi membawa kehancuran dan kepunahan massal, serta mitos baru, ideologi dan tatanan-tatanan khayal baru. Pemburu-pengumpul dahulu kala hidup dengan seperangkat keyakinan dan realitas yang sangat berbeda dari petani dan Sapiens modern. Selama beribu-ribu tahun itu, kultur-kultur kecil sederhana pelan-pelan bersatu menjadi peradaban-peradaban yang lebih besar dan lebih kompleks sehingga dunia kian berisi semakin dan semakin sedikit megabudaya, yang masing-masing lebih besar dan lebih kompleks.

Dari pandangan semacam itu, menjadi lebih tegas bahwa tren sejarah bergerak tiada henti menuju penyatuan. Pada level mikro-historis, tampaknya setiap kelompok budaya yang bergabung menjadi megabudaya, ada megabudaya yang pecah berkeping-keping. Namun, pecahan-pecahan ini adalah pembalikan temporer dalam tren tak terelakkan menuju penyatuan. Terbelahnya beberapa agama besar dan runtuhnya beberapa imperium hanyalah semacam kendali kecepatan di jalan tol sejarah.

UNIFIKASI UMAT MANUSIA

Untuk sebagian besar sejarah, Sapiens tinggal di kantong terisolasi, benar-benar tidak tahu keberadaan orang lain. Homo sapiens berevolusi untuk memandang orang terbagi menjadi kita dan mereka. “Kita” adalah kelompok yang berdekatan dengan Anda, siapa pun Anda, sedangkan “mereka” adalah orang lain.

Sebagai binatang sosial, Sapiens tidak pernah digiring oleh kepentingan spesiesnya secara kolektif. Seperti halnya binatang sosial lainnya, tidak ada simpanse yang peduli tentang kepentingan spesies simpanse, tidak ada bekicot yang mengangkat tentakel untuk komunitas bekicot global, tidak ada singa jantan alfa yang mengajukan diri sebagai raja seluruh singa, dan tidak ada slogan yang ditemukan di pintu masuk sarang lebah manapun yang berbunyi: “Lebah-lebah pekerja di seluruh dunia, bersatulah!”

Namun, dimulai dari Revolusi Kognitif, dengan munculnya budaya atau tatanan-tatanan fiksional, Homo sapiens menjadi semakin dan semakin istimewa dari yang lainnya. Berkat tatanan khayal, orang-orang yang tidak saling kenal mulai bekerja sama secara teratur, dan orang yang tadinya dianggap asing kemudian bisa dibayangkan sebagai “kawan” atau “saudara”.

Selama perjalanan ribuan tahun sejarah, budaya-budaya kecil yang tadinya terfragmentasi secara berangsur-angsur menuju arah penyatuan global menjadi budaya yang lebih besar dan lebih kompleks. Hingga pada milenium ke-1 SM, muncul tiga tatanan fiksional yang bersifat universal potensial, yang untuk pertama kali para penganutnya bisa membayangkan setiap orang adalah “kita”, paling tidak secara potensial. Tidak ada lagi “mereka”. Tatanan universal pertama adalah ekonomi: tatanan moneter. Yang kedua adalah politik: tatanan imperium. Yang ketiga adalah agama.

Para pedagang, para penakluk, dan para nabi adalah orang-orang pertama yang berhasil melampaui divisi evolusi biner, “kita” vs “mereka”. Dan untuk memandang potensi penyatuan manusia. Bagi para pedagang, seluruh dunia adalah satu pasar tunggal dan seluruh manusia adalah pelanggan potensial. Bagi para penakluk, seluruh dunia adalah satu imperium tunggal dan seluruh manusia adalah penduduk potensial. Dan bagi para nabi, seluruh dunia memegang satu kebenaran tunggal bagi seluruh manusia, dan seluruh manusia adalah para penganut potensial.

Karena ini memerlukan ulasan sedikit mendalam, maka kita akan membahas 3 (TIGA) FAKTOR PEMERSATU tersebut — yakni UANG, IMPERIUM dan AGAMA – secara khusus dalam “Sapiens in Minutes” selanjutnya.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai